Oleh: Adi ST
Al Qur’an telah diturunkan dalam
bahasa Arab yang makna perkataannya dapat dipahami oleh bangsa Arab pada
masanya. Hanya saja, ada sebagian kaum muslim pada masa sekarang memandang
bahwa semua perkataan di dalam Al Qur’an mesti dipahami terlebih dulu secara
makna bahasa (haqiqah lughawiyyah). Padahal, Al Qur’an bukan
sekedar kitab cerita atau dongeng, namun lebih dari itu ia merupakan kitab yang
menjelaskan beragam hukum atas berbagai aktivitas manusia (syariat). Bahkan
inilah fungsi terpenting dari Al Qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda).
Oleh karena itu, wajar jika Al Qur’an
mesti dipahami terlebih dulu dengan melihat makna syar’i-nya (yang dikehendaki Allah SWT). Jika tidak ada, lalu dilihat
makna menurut ‘urf (kebiasaan)
masyarakat Arab, baru terakhir makna lughawiyyah-nya.
Bahkan jika masih tidak bisa dipahami berdasarkan makna lughawiyyah-nya, suatu kata harus dibawa kepada makna majaz-nya (kiasan), karena tidak ada satu perkataan pun di dalam Al Qur’an
yang tanpa arti atau sia-sia. Berikut sekilas penjelasan 3 tingkatan/perspektif
makna perkataan Al Qur’an tersebut di luar makna lughawiyyah yang telah dikenal.
1. Makna Syar’i
(Haqiqah Syar’iyyah)
Adalah suatu kata (lafazh) yang digunakan syara’
(Allah SWT) untuk menunjukkan suatu makna tanpa indikasi (qarinah). Makna tersebut adalah makna
baru yang dikehendaki syara’, di mana
kemudian ia masyhur dengan meninggalkan makna lughawi-nya. Contohnya, kata ash-sholat
yang digunakan oleh orang Arab dengan makna doa (secara lughawi). Namun syara’ telah
memindahkannya ke makna baru, yakni serangkaian aktivitas yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam. Selanjutnya kata ash-sholat masyhur dengan makna baru
(yakni makna syar’i) tersebut, bukan
lagi dengan makna doa. Hal yang sama terjadi dengan kata zakat, shaum, iman, jihad, dan lain sebagainya.
2. Makna ‘Urf/Kebiasaan/Adat
(Haqiqah ‘Urfiyyah)
Adalah kata (lafazh) yang digunakan oleh kebiasaan (‘urf) bangsa Arab untuk menunjukkan makna tertentu. Contohnya, kata ad-daabbah. Awalnya -secara lughawi- kata tersebut dipakai untuk
menunjuk kepada semua yang melata di atas bumi, baik hewan maupun manusia. Makna
itu lalu dikhususkan oleh ‘urf
pengguna bahasa untuk menunjukkan hewan berkaki empat saja. Selanjutnya kata
tersebut masyhur dengan makna hewan berkaki empat, bukan lagi semua yang melata
di atas bumi (termasuk manusia).
3. Makna Kiasan (Majaz)
Adalah kata (lafazh) yang digunakan dengan makna berbeda dari makna yang
ditunjuk pada konteks awal, namun masih memiliki hubungan korelatif. Misalnya,
kata al-asad yang secara lughawiyyah bermakna singa, namun
diartikan dengan seorang laki-laki pemberani. Sebagian ahli bahasa Arab
mengatakan ada 25 macam majaz, yang
lainnya mengatakan ada 21 atau bahkan 12 macam saja. Beberapa di antaranya
seperti Al-Kulliyah, yakni ungkapan
yang menggunakan kata bermakna keseluruhan namun yang dimaksud hanya sebagian.
Misalnya di dalam QS Al Baqarah: 19, “Mereka menyumbat telinga dengan jari-jari
tangan mereka”. Kata “jari-jari tangan mereka” (ashobi’ahum)
tersebut bukan bermakna keseluruhan jari, namun hanya ujung jari saja.
Sumber: Keadilan
Sahabat (2004) oleh A Said Aqil Humam Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar